December 20, 2011

Catatan Akhir Nuraniku: Perjalanan Singkat dengan Hati

Dedline saya di Nuraniku sudah sampai di penghujung. Flashback saat pertamakali bergabung, di tahun pertama saya menjadi staff redaksi  dengan pimred Dian Utami. Saat kepemimpinan beliau bisa dibilang saya belum terlalu paham dunia jurnalistik dan sampai sekarang pun sebenarnya masih dalam taraf proses memahami. Jujur tidak begitu banyak yang saya dapatkan dari beliau mengenai kejurnalistikan hanya yang saya sedikit tahu yaitu dunia kepenulisan. Jadilah saya staff seadanya, bergerak dengan kecepatan siput, dan tak pedulian. Akhirnya, pelan-pelan saya membuka diri dan mulai meneropong dunia jurnalistik. Bermodalkan hobby dan passion yang kuat sedikit demi sedikit saya belajar melalui seminar-seminar jurnalistik yang saya ikuti atau pun membaca beberapa buku mau pun artikel walau belum bisa dikatakan cukup.

Aha! Apa yang saya temukan di lapangan sangat berbeda antara dunia jurnalistik dan kepenulisan. Memang keduanya mempunyai kesamaan dalam hal penyampaian melalui media yang  bernama tulisan namun sangat jauh berbeda dalam hal konten, dsb. Bagi amatiran seperti saya yang hanya terbiasa menulis sebuah fantasi, imajinasi atau tulisan-tulisan—yang sifatnya lebih menyerupai tulisan spontan, dsb. dengan gaya bahasa “semaunya” tanpa pernah merisaukan atau mempedulikan kaidah-kaidah EYD. Tentu bukan hal yang mudah saat diminta menuliskan artikel atau kolom dalam sebuah buletin atau majalah yang sudah memiliki pakem-pakem tersendiri. Ditambah lagi bila menemui perspektif yang berbeda antara penulis dan media itu sendiri. Itulah tantangan terbesar saya pada waktu itu, namun tidak ada yang mustahil jika kita mau mencoba dan mengkomunikasikan perbedaan yang ada dalam ruang dan pikiran yang lebih jernih.

Memasuki tahun  ke dua di Nuraniku dibawah kepemimpinan Hana Fitrani sebagai Pimred, saya masih terus bergulir dengan dinamika yang ada di Nuraniku. Sebenarnya tidak jauh berbeda dari kondisi tahun sebelumnya, yang sedikit berbeda dan menguntungkan adalah intensitas komunikasi kami yang bisa dibilang cukup sering dan lancar. Kami menjadi lebih sering sharing mengenai hal ini, tidak jarang juga dalam wilayah privacy. Kedeketan saya dengan beliau inilah yang sedikit banyak membantu saya dalam hal memahami bidang ini lebih dalam sedikit.

Singkat cerita, di tahun ke tiga tanpa kebetulan saya di tunjuk sebagai Pimred Nuraniku. Mengapa saya mengatakan tanpa kebetulan? Karena saya selalu meyakini bahwa pada level tertentu tidak ada satu hal pun yang kebetulan atau insidental. Semua punya makna. Semua berinterelasi dalam satu maha rencana. Begitupun dengan dinamika, riak, dan gelombang yang ada di pusara Nuraniku semua di luar kendali saya sebagai Pimred. Secara alami, saya merasa terpanggil untuk menulis khusus di Nuraniku, walau tulisan saya itu masih belum bisa dibilang mumpuni dalam bidang jurnalistik. Kendati terdengar sia-sia, mudah-mudahan upaya itu masih punya makna. Tak terkatakan jasa Nuraniku bagi pengasahan skill menulis saya. Tanpa terasa dan terencana di hati saya, Nuraniku ini mulai bertransformasi menjadi ‘anak jiwa’, yang perlu dirawat dan dibesarkan dengan sama baiknya. Tentu semua itu butuh proses dan konsistensi yang panjang selama perjalanannya. Walau terkadang saya sendiri pun menemui sebuah titik atau klimaks dimana saya merasa muak dengan kondisi dan dinamika yang terus bergulir bagai bola salju. Di luar semua itu saya sangat bersyukur dapat menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana perbedaan kita bertumbuh dan berdinamika.

So far, senang bisa melewati secuil fase pendewasaan disini. Semua berjalan begitu dinamis dan penuh tantangan. Saya belajar banyak hal selain jurnalistik, yaitu tentang pertemanan, kerjasama, tanggung jawab dan sepotong cinta. Jangan buru-buru mengerutkan dahi apalagi negative thinking about love. Sebab definisi cinta bukan hanya untuk pasangan saja, tapi juga hubungan & relasi antara orang tua dan anak, teman kita dan kita, orang-orang terdekat kita, orang-orang yang berada di balik keberhasilan kita, dll. Pembantu pun tidak luput dari cinta, kalo kita terbantu oleh kerjanya, kita pasti merasa senang dan itu mengalirkan rasa cinta juga. Sama halnya dengan Nuraniku yang sudah memberikan cintanya walau hanya sepotong. Kenapa cintanya hanya sepotong? Kenapa tidak heartful? Saya pun tidak punya jawaban yang pasti. Dan saya pun tidak bisa menjaminkan kepastian. Mungkin karena Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang memang harus dibagi. Entahlah, saya selalu gagap jika dihadapkan pada definisi cinta. Pada akhirnya, kita hanya bisa merasakan. Apapun yang terjadi menulislah terus. Tidak harus sering, tidak harus populer, tidak harus bagus, tapi menulislah dari hati. Karena “Di antara ribuan majalah yang terbit, atau artikel yang dibuat setiap harinya, justru hati yang memiliki passionlah yang memberikan kekhasan pada karya kita.” Yang ini saya berani menjaminkan. Selamat berkarya!

Sebagaimana ritual saya setiap akhir periode, postingan ini memang sengaja dibuat sebagai rangkaian penutup perjalanan singkat saya selama di Nuraniku. Seperti beberapa tulisan yang pernah saya buat sebelumnya dan kali ini tepat menuju pergantian tahun 2012. This is special just for you (red: Nuraniku). Thanks all.


PS. Nuraniku is your best gift to me so far. Thank you so much, sis n bro.. Terimakasih setulus hati untuk sepotong Cintanya.


20 December 2011, 03:10 PM


December 11, 2011

The Great Learning from Wonderland

“Petualangan Alice di Wonderland” (biasa disingkat menjadi “Alice in Wonderland”) adalah novel yang ditulis di tahun 1865 oleh seorang penulis Inggris Charles Lutwidge Dodgson dengan nama samaran Lewis Carroll. Novel ini menceritakan seorang gadis bernama Alice yang terdampar di dunia fantasi (Woderland) yang dihuni oleh berbagai makhluk antropomorfik aneh.

Di suatu kesempatan, Alice terlibat dalam percakapan yang menarik dengan Mad Hatter.

Alice: “Di mana sebenarnya aku harus menempatkan diri? Tidakkah orang biasa belajar dari hal-hal kurang baik, padahal mereka berusaha keras melakukan hal-hal baik?”

Mad Hatter: “He he he. Tidakkah kita selama ini hanya berputar-putar saja di seantero Wonderland ini? Namun, tidakkah kita selalu berakhir di titik awal dari mana kita berangkat? Justru aku sekarang memintamu menjelaskan pola ini, setidaknya kepada dirimu sendiri.”

Alice: “Ya,ya. Orang-orang yang mengaku dewasa biasanya menyuruh kita mencari tahu kesalahan apa yang telah kita lakukan, dan karenanya kita tidak pernah lagi melakukannya.”

Mad Hatter: “Hei, bukankah itu sangat aneh! Dalam pemahamanku, untuk tahu tentang sesuatu, tidakkah kita harus mempelajarinya terlebih dahulu? Dan ketika kau sudah berhasil mempelajarinya, tidakkah kau akhirnya menjadi lebih baik dalam  perkara sebelumnya kau tidak tahu itu? Mengapa kau barusan bilang ingin baik terhadap sesuatu, tetapi (dan kemudian) tidak pernah melakukannya lagi? By the way, coba kau teruskan penjelasanmu tentang hal ini kepada dirimu sendiri.”

Alice: “Tak seorang pun pernah memberitahu kita agar mempelajari kebenaran yang telah berhasil kita lakukan. Kita dipaksa belajar hanya dari hal yang salah. Sementara, kita ditargetkan untuk mempelajari hal yang benar sebagaimana dilakukan oleh orang lain. Tak jarang kita sekedar diminta untuk menyalinnya, meng-copy-paste.”

Mad Hatter: “Jelas, itu curang, Alice!”

Alice: “Kau benar, Hatter. Aku memang hidup di dunia yang kocar-kacir. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu yang salah terlebih dahulu, dalam rangka belajar tentang apa yang tidak boleh dilakukan; baru kemudian, dengan tidak melakukan hal yang seharusnya tak aku lakukan, seakan-akan dengan ini aku berhasil meraih posisi kebenaranku. Tapi, kalau aku harus memilih, AKU LEBIH SUKA MELAKUKAN HAL BENAR PADA KALI PERTAMA. Bukankah, begitu, Hatter?”

Cuplikan di atas bagi saya menjelaskan secara tepat, reason d’tre dibalik kegelisahan saya selama ini dalam memaknai pembelajaran dalam hidup. Kita sering kali menyesal, merasa bersalah terhadap suatu hal atau melakukan sebuah kesalahan. Namun kemudian kita melupakan kesalahan itu dan kembali melakukan kesalahan yang sama lagi dan lagi. Karena memang seringnya kita mendengar sebuah pemakluman pada kesalahan, mungkin tidak sedikit juga orang yang mengatakan kalimat yang serupa seperti ini, “ga papa kok biar gimana juga kan, thats your “historical”.. hidup tanpa itu tidak ada pembelajaran untuk kedepannya.” Dan kita pun menerima pemakluman itu dalam rangka belajar mengenai apa yang tidak boleh dilakukan. Namun apakah itu menjamin kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama? Menjamin kita untuk mampu belajar dari sebuah kesalahan? Pada kenyataannya kita sering sekali berjanji kepada diri sendiri untuk tidak masuk ke lubang yang sama kedua kalinya. Tapi yang terjadi dikemudian hari kita malah jatuh dan jatuh lagi ke lubang yang sama berkali – kali. Disadari atau tidak seolah-olah kita kembali berputar – putar pada kesalahan yang sama.

Setelah merefleksikan itu, saya memperoleh pemahaman bahwa sang pembelajar mampu belajar sesuatu bukan karena “pembelajaran dari” orang lain, melainkan karena “pembelajaran atas dan dari” diri sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tak harus diawali dengan melakukan sesuatu yang salah terlebih dahulu, dengan maksud memaknai kesalahan. Sebab, pembelajaran tentang kesalahan saja tak membuat pembelajar belajar tentang apa yang salah. Artinya, pembelajar sebenarnya tidak belajar dari kesalahan dan kebenaran menurut versi otoritas mana pun di luar diri mereka. Hal ini secara apik dan argumentatif diungkapkan oleh Allice, “.. Tapi, kalau aku harus memilih, AKU LEBIH SUKA MELAKUKAN HAL BENAR PADA KALI PERTAMA.”




December 8, 2011

Reflection in life

Jiwaku terdampar diantara dua dunia

Apakah ini nyata atau mimpi belaka

Sekejap tawa sekejap tangis

Menepi sejenak untuk meresapi

Bertanya diri ke dalam sanubari

Apakah ini nyata atau mimpi belaka

Kadang canda kadang duka                                            

Datang silih berganti mewarnai hari

Ini dunia memang fana

Tak ada yang kekal dan abadi

Hanya Dia tempat untuk bertanya

Hanya Dia tempat untuk mengadu

Hanya Dia tempat untuk kembali

Karena hanya Dia yang abadi

Sadar jiwaku membawa

Bersegeralah..

Ini dunia memang semu

entah  nyata atau mimpi

Akan tiba giliranmu

Bersegeralah wahai jiwa

Penuhi janji Ilahi..

Akan tiba masamu sebelum sesalmu

Reflection Thursday, 8 December'11 4:00 pm


December 2, 2011

December Comes

Hello December!
Bulan terakhir di tahun ini. Semoga harapan kamu yang belum tercapai di tahun ini bisa tergenapi di bulan ini.

Ya. harus ada perubahan di bulan terakhir tahun ini setelah sepertinya aku begitu banyak menyia-nyiakan kesempatan dan waktu yang ada. Kali ini aku harus benar-benar mengejar ketertinggalanku terutama kuliahku yang agak terbengkalai. Bukan karena kesibukan atau apapun tapi memang fokusku yang mulai berkurang dan semangatku untuk lulus kuliah tepat waktu mulai mengendur.

Memang beberapa bulan terakhir ini aku sangat santai menjalani kuliahku, aku lebih suka mengisinya dengan hal-hal lain yang menyenangkan buatku seperti  menghadiri seminar-seminar, booklaunch, menulis beberapa artikel, mengajar, dan mencoba berbisnis. Karena kuliah terasa membosankan buatku. Setelah obrolan singkat bersama mamaku beberapa waktu yang lalu barulah aku mulai tersadar mengenai tanggungjawab yang harus segera kutunaikan. Saat itu mamaku bertanya, “Kuliah kamu berapa lama lagi, kapan kamu di wisudanya?” Disinilah aku merasa seperti diguyur dengan air yang begitu dingin. Lalu tanpa berfikir panjang  aku menjawab, “Sedikit lagi ma, do’ain ya..” Beberapa hari kemudian teman baikku Naisa juga seperti menjewerku, setelah ia membantu mengerjakan tugas kuliaku ia mengatakan, “ Cin, kamu yang serius ya kuliahnya.” Teman dekatku yang lain pun Handini mengatakan hal ya serupa, “Mi, lu kuliah yang bener dulu, kuliah lu kan tinggal dikit lagi. Setelah itu baru kita raih mimpi bersama dan terbang ke Singapore.”

Aku sangat berterimakasih pada mereka. Mereka adalah orang yang menaruh perhatian yang besar terhadapku dan tentunya mereka adalah orang yang menginginkan aku memiliki arah dan tujuan hidup yang lebih baik. Namun ada hal lain yang membuatku kurang berhasrat menjalankan kuliah dengan serius. Aku merasakan belum menemukan feel pada bidang ini. Dari tahun pertama kuliah, aku memang sudah berniat untuk menekuni dan mendalami ini dengan serius karena merasa memiliki tanggungjawab terhadap orangtuaku. Just it my reason. Pada akhirnya sesuatu yang dipaksakan menimbulkan kejenuhan pada diriku sendiri. Jujur saja aku masih belum mencintai bidang ini, walaupun cinta itu sedikit demi sedikit bisa ditumbuhkan.

Mungkin aku hanya ingin mencoba mencerna apa yang dikatakan Steve Jobs, “Saya tidak tahu apa yang ingin saya lakukan dalam hidup dan tidak tahu apa yang dapat dilakukan bangku kuliah akan membantu saya menemukan tujuan hidup.”

Flasback sedikit mengenai track record aku di dunia akademik, Sebelumnya setelah lulus SMU tahun 2006 aku gagal masuk keperguruan tinggi negeri. Karena waktu yang sangat mepet pada waktu itu untuk mendaftar  kuliah akhirnya aku mengikuti temanku yang mengajak untuk mendaftar di salah satu perguruan tinggi swasta yang  ada di Jakarta. Kemudian aku masuk dan mengambil jurusan ekonomi. Tapi setelah beberapa semester menjalani kuliah ada rasa ketidakpuasan karena itu bukan kampus dan jurusan yang aku idam-idamkan. Aku ingin sekali bisa tetap merasakan kuliah di Universitas Indonesia. It’s my obsession.


Setiap tahun ada tes ujian masuk keperguruan tinggi negeri aku selalu mengikuti sampe aku bela-belain meluangkan waktu dan biaya tambahan untuk mengikuti bimbel yang bagus. Hahh..ternyata aku gagal lagi di tahun 2007. Rasa penasaran pun menghinggapi dan pantang menyerah di tahun berikutnya 2008 aku mengikuti tes kembali, kali ini benar-benar tanpa persiapan. Ya, walaupun tidak lulus aku masih bisa melanjutkan kuliah di swasta dan hitung-hitung berhadiah hehe, pikirku saat itu. Temanku menyarankan untuk mengambil satu opsion apa yang kita minati dan satu lagi yang gradnya rendah atau jarang diminati. Nah, pada waktu itu temanku menyarankan mengambil jurusan Pendidikan Anak Usia Dini atau yang biasa disingkat PAUD yang konon katanya prospek kedepannya sangat bagus..hehe temanku itu sok tau banget ya kaya peramal aja. Tapi karena pada saat itu dia orang yang paling dekat denganku, ya aku terima sarannya..toh aku sudah punya pilihan favorite juga yaitu Sastra Jepang. Alhasil jrenggggggg…jrenggggggggg pilihan favorite ku gagal, gagal masuk UI dan gagal masuk jurusan Sastra Jepang. Hal yang tak terduga dan tak disangka-sangka adalah aku malah diterima di Jurusan yang tidak aku minati sama sekali PAUD,  jurusan dengan nama yang sedikit asing buatku karena jujur baru pertama kali tahu dan dengar. Akhirnya ortu pun menyarankan kepadaku untuk mengambil saja jurusan itu setelah sebelumnya menelusuri bidang itu, karena mindsite mereka adalah perguruan tinggi negeri itu lebih bagus dibanding swasta. Dalam hati “What !”

Singkat cerita akhirnya sampai detik ini aku masih aktif  menyandang sebagai mahasiswa UNJ jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. Hidup Mahasiswa!:)

Eh, balik lagi ke Desember. Apapun yang terjadi yang penting tetep keren dan tetep cakep. Maksudnya cakep hatinya hehee..Maaf yak kok jadi ngelantur gini. Pokoknya semua itu harus disyukuri dan tak ada yang patut disesali, Semua pasti berisi makna. Ya, langit masih biru, bumi masih sama ramahnya dengan hari kemarin, bahkan kupu – kupu pun mendukung, Semesta dan Tuhan selalu mendukung kita. Jangan pernah menyerah. Kita dilahirkan untuk dapat memberi pelajaran dan mengambil pelajaran.

Aku selalu berusaha memetik pelajaran positif dari setiap peristiwa. Dan hari ini aku belajar mencintai apa yang aku lakukan dan tak pernah berhenti untuk mencari apa yang aku cintai. Kembali teringat kata-kata Steve Jobs, “Dan satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan hebat adalah mencintai apa yang kamu lakukan. Jika kamu belum menemukannya, maka janganlah berhenti mencari. Jangan berhenti.”  Cinta itu memang menghebatkan ya