December 11, 2011

The Great Learning from Wonderland

“Petualangan Alice di Wonderland” (biasa disingkat menjadi “Alice in Wonderland”) adalah novel yang ditulis di tahun 1865 oleh seorang penulis Inggris Charles Lutwidge Dodgson dengan nama samaran Lewis Carroll. Novel ini menceritakan seorang gadis bernama Alice yang terdampar di dunia fantasi (Woderland) yang dihuni oleh berbagai makhluk antropomorfik aneh.

Di suatu kesempatan, Alice terlibat dalam percakapan yang menarik dengan Mad Hatter.

Alice: “Di mana sebenarnya aku harus menempatkan diri? Tidakkah orang biasa belajar dari hal-hal kurang baik, padahal mereka berusaha keras melakukan hal-hal baik?”

Mad Hatter: “He he he. Tidakkah kita selama ini hanya berputar-putar saja di seantero Wonderland ini? Namun, tidakkah kita selalu berakhir di titik awal dari mana kita berangkat? Justru aku sekarang memintamu menjelaskan pola ini, setidaknya kepada dirimu sendiri.”

Alice: “Ya,ya. Orang-orang yang mengaku dewasa biasanya menyuruh kita mencari tahu kesalahan apa yang telah kita lakukan, dan karenanya kita tidak pernah lagi melakukannya.”

Mad Hatter: “Hei, bukankah itu sangat aneh! Dalam pemahamanku, untuk tahu tentang sesuatu, tidakkah kita harus mempelajarinya terlebih dahulu? Dan ketika kau sudah berhasil mempelajarinya, tidakkah kau akhirnya menjadi lebih baik dalam  perkara sebelumnya kau tidak tahu itu? Mengapa kau barusan bilang ingin baik terhadap sesuatu, tetapi (dan kemudian) tidak pernah melakukannya lagi? By the way, coba kau teruskan penjelasanmu tentang hal ini kepada dirimu sendiri.”

Alice: “Tak seorang pun pernah memberitahu kita agar mempelajari kebenaran yang telah berhasil kita lakukan. Kita dipaksa belajar hanya dari hal yang salah. Sementara, kita ditargetkan untuk mempelajari hal yang benar sebagaimana dilakukan oleh orang lain. Tak jarang kita sekedar diminta untuk menyalinnya, meng-copy-paste.”

Mad Hatter: “Jelas, itu curang, Alice!”

Alice: “Kau benar, Hatter. Aku memang hidup di dunia yang kocar-kacir. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu yang salah terlebih dahulu, dalam rangka belajar tentang apa yang tidak boleh dilakukan; baru kemudian, dengan tidak melakukan hal yang seharusnya tak aku lakukan, seakan-akan dengan ini aku berhasil meraih posisi kebenaranku. Tapi, kalau aku harus memilih, AKU LEBIH SUKA MELAKUKAN HAL BENAR PADA KALI PERTAMA. Bukankah, begitu, Hatter?”

Cuplikan di atas bagi saya menjelaskan secara tepat, reason d’tre dibalik kegelisahan saya selama ini dalam memaknai pembelajaran dalam hidup. Kita sering kali menyesal, merasa bersalah terhadap suatu hal atau melakukan sebuah kesalahan. Namun kemudian kita melupakan kesalahan itu dan kembali melakukan kesalahan yang sama lagi dan lagi. Karena memang seringnya kita mendengar sebuah pemakluman pada kesalahan, mungkin tidak sedikit juga orang yang mengatakan kalimat yang serupa seperti ini, “ga papa kok biar gimana juga kan, thats your “historical”.. hidup tanpa itu tidak ada pembelajaran untuk kedepannya.” Dan kita pun menerima pemakluman itu dalam rangka belajar mengenai apa yang tidak boleh dilakukan. Namun apakah itu menjamin kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama? Menjamin kita untuk mampu belajar dari sebuah kesalahan? Pada kenyataannya kita sering sekali berjanji kepada diri sendiri untuk tidak masuk ke lubang yang sama kedua kalinya. Tapi yang terjadi dikemudian hari kita malah jatuh dan jatuh lagi ke lubang yang sama berkali – kali. Disadari atau tidak seolah-olah kita kembali berputar – putar pada kesalahan yang sama.

Setelah merefleksikan itu, saya memperoleh pemahaman bahwa sang pembelajar mampu belajar sesuatu bukan karena “pembelajaran dari” orang lain, melainkan karena “pembelajaran atas dan dari” diri sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tak harus diawali dengan melakukan sesuatu yang salah terlebih dahulu, dengan maksud memaknai kesalahan. Sebab, pembelajaran tentang kesalahan saja tak membuat pembelajar belajar tentang apa yang salah. Artinya, pembelajar sebenarnya tidak belajar dari kesalahan dan kebenaran menurut versi otoritas mana pun di luar diri mereka. Hal ini secara apik dan argumentatif diungkapkan oleh Allice, “.. Tapi, kalau aku harus memilih, AKU LEBIH SUKA MELAKUKAN HAL BENAR PADA KALI PERTAMA.”




No comments:

Post a Comment