Dedline saya di Nuraniku sudah sampai di penghujung. Flashback saat pertamakali bergabung, di tahun pertama saya menjadi staff redaksi dengan pimred Dian Utami. Saat kepemimpinan beliau bisa dibilang saya belum terlalu paham dunia jurnalistik dan sampai sekarang pun sebenarnya masih dalam taraf proses memahami. Jujur tidak begitu banyak yang saya dapatkan dari beliau mengenai kejurnalistikan hanya yang saya sedikit tahu yaitu dunia kepenulisan. Jadilah saya staff seadanya, bergerak dengan kecepatan siput, dan tak pedulian. Akhirnya, pelan-pelan saya membuka diri dan mulai meneropong dunia jurnalistik. Bermodalkan hobby dan passion yang kuat sedikit demi sedikit saya belajar melalui seminar-seminar jurnalistik yang saya ikuti atau pun membaca beberapa buku mau pun artikel walau belum bisa dikatakan cukup.
Aha! Apa yang saya temukan di lapangan sangat berbeda antara dunia jurnalistik dan kepenulisan. Memang keduanya mempunyai kesamaan dalam hal penyampaian melalui media yang bernama tulisan namun sangat jauh berbeda dalam hal konten, dsb. Bagi amatiran seperti saya yang hanya terbiasa menulis sebuah fantasi, imajinasi atau tulisan-tulisan—yang sifatnya lebih menyerupai tulisan spontan, dsb. dengan gaya bahasa “semaunya” tanpa pernah merisaukan atau mempedulikan kaidah-kaidah EYD. Tentu bukan hal yang mudah saat diminta menuliskan artikel atau kolom dalam sebuah buletin atau majalah yang sudah memiliki pakem-pakem tersendiri. Ditambah lagi bila menemui perspektif yang berbeda antara penulis dan media itu sendiri. Itulah tantangan terbesar saya pada waktu itu, namun tidak ada yang mustahil jika kita mau mencoba dan mengkomunikasikan perbedaan yang ada dalam ruang dan pikiran yang lebih jernih.
Memasuki tahun ke dua di Nuraniku dibawah kepemimpinan Hana Fitrani sebagai Pimred, saya masih terus bergulir dengan dinamika yang ada di Nuraniku. Sebenarnya tidak jauh berbeda dari kondisi tahun sebelumnya, yang sedikit berbeda dan menguntungkan adalah intensitas komunikasi kami yang bisa dibilang cukup sering dan lancar. Kami menjadi lebih sering sharing mengenai hal ini, tidak jarang juga dalam wilayah privacy. Kedeketan saya dengan beliau inilah yang sedikit banyak membantu saya dalam hal memahami bidang ini lebih dalam sedikit.
Singkat cerita, di tahun ke tiga tanpa kebetulan saya di tunjuk sebagai Pimred Nuraniku. Mengapa saya mengatakan tanpa kebetulan? Karena saya selalu meyakini bahwa pada level tertentu tidak ada satu hal pun yang kebetulan atau insidental. Semua punya makna. Semua berinterelasi dalam satu maha rencana. Begitupun dengan dinamika, riak, dan gelombang yang ada di pusara Nuraniku semua di luar kendali saya sebagai Pimred. Secara alami, saya merasa terpanggil untuk menulis khusus di Nuraniku, walau tulisan saya itu masih belum bisa dibilang mumpuni dalam bidang jurnalistik. Kendati terdengar sia-sia, mudah-mudahan upaya itu masih punya makna. Tak terkatakan jasa Nuraniku bagi pengasahan skill menulis saya. Tanpa terasa dan terencana di hati saya, Nuraniku ini mulai bertransformasi menjadi ‘anak jiwa’, yang perlu dirawat dan dibesarkan dengan sama baiknya. Tentu semua itu butuh proses dan konsistensi yang panjang selama perjalanannya. Walau terkadang saya sendiri pun menemui sebuah titik atau klimaks dimana saya merasa muak dengan kondisi dan dinamika yang terus bergulir bagai bola salju. Di luar semua itu saya sangat bersyukur dapat menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana perbedaan kita bertumbuh dan berdinamika.
So far, senang bisa melewati secuil fase pendewasaan disini. Semua berjalan begitu dinamis dan penuh tantangan. Saya belajar banyak hal selain jurnalistik, yaitu tentang pertemanan, kerjasama, tanggung jawab dan sepotong cinta. Jangan buru-buru mengerutkan dahi apalagi negative thinking about love. Sebab definisi cinta bukan hanya untuk pasangan saja, tapi juga hubungan & relasi antara orang tua dan anak, teman kita dan kita, orang-orang terdekat kita, orang-orang yang berada di balik keberhasilan kita, dll. Pembantu pun tidak luput dari cinta, kalo kita terbantu oleh kerjanya, kita pasti merasa senang dan itu mengalirkan rasa cinta juga. Sama halnya dengan Nuraniku yang sudah memberikan cintanya walau hanya sepotong. Kenapa cintanya hanya sepotong? Kenapa tidak heartful? Saya pun tidak punya jawaban yang pasti. Dan saya pun tidak bisa menjaminkan kepastian. Mungkin karena Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang memang harus dibagi. Entahlah, saya selalu gagap jika dihadapkan pada definisi cinta. Pada akhirnya, kita hanya bisa merasakan. Apapun yang terjadi menulislah terus. Tidak harus sering, tidak harus populer, tidak harus bagus, tapi menulislah dari hati. Karena “Di antara ribuan majalah yang terbit, atau artikel yang dibuat setiap harinya, justru hati yang memiliki passionlah yang memberikan kekhasan pada karya kita.” Yang ini saya berani menjaminkan. Selamat berkarya!
Sebagaimana ritual saya setiap akhir periode, postingan ini memang sengaja dibuat sebagai rangkaian penutup perjalanan singkat saya selama di Nuraniku. Seperti beberapa tulisan yang pernah saya buat sebelumnya dan kali ini tepat menuju pergantian tahun 2012. This is special just for you (red: Nuraniku). Thanks all.
PS. Nuraniku is your best gift to me so far. Thank you so much, sis n bro.. Terimakasih setulus hati untuk sepotong Cintanya.
20 December 2011, 03:10 PM
No comments:
Post a Comment