Dari sekian banyak produk
budaya made in Indonesia ada satu yang paling rancu menurut saya, yakni ; acara
pernikahan.
Pernikahan dalam arti
sebenarnya yang hanya bermodal penghulu, saksi dan wali + mahar (menurut
Islam), harus dibungkus puluhan juta hingga ratusan juta rupiah karena yang tak
wajib menjadi lebih mahal daripada yang wajib. Pesta meriah, makanan mewah
hingga pelaminan megah adalah salah satu atribut pernikahan-pernikahan di
Indonesia. Dalam agama Kristen setahu saya pun hanya cukup bermodal
pastor/pendeta lalu petugas dari catatan sipil.
Pernikahan yang nilainya sangat
sakral karena ada dua orang yang begitu berani mengucap janji sampai mati,
menjadi ajang silahturahmi dan basa-basi. Ini tidak masalah untuk orang-orang
yang punya uang berlebih dan memang ikhlas berniat mencari pahala tanpa
mengharap angpaw dengan memberi makan gratis ratusan hingga ribuan orang. Tapi
tentunya ini bisa membuat orang-orang yang tidak punya uang lebih tidak bisa
tidur dan bekerja lebih giat sampai badan rontok demi mencari modal untuk biaya
pernikahan.
Beberapa waktu yang lalu saya
bertemu teman lama semasa SMA. Ngobrol kesana-kesitu-kemari akhirnya sampai
juga pada pembicaraan, "Lo kapan nikah sama si X?". FYI teman saya
ini sudah hampir 6 tahun berpacaran dan sampai kini masih awet rajet. Jawaban
dari teman saya ini cukup membuat saya tertegun.
"Yah rencana sih udah ada
dari dua tahun lalu, tapi uangnya belum ada"
"Uang buat apa
maksudnya?",
"Buat pestanya.."
Saya pikir uang belum cukup itu
untuk modal, misal ; beli/ngontrak rumah, biaya rumah tangga dll. Alangkah
kasihannya, niat yang begitu berani dan mulia harus tertahan gara-gara 'uang
belum cukup'. Entah siapa pula yang menstandardisasi pernikahan di Indonesia
harus disertai resepsi yang menguras habis tabungan calon pengantin atau kocek
orang tua mereka.
Sikap seperti ini tertanam
dalam benak banyak orang dan akhirnya berubah dari budaya menjadi aturan baku
tak tertulis. Orang-orang yang merasa kecil hati ketika mereka tidak diundang
dalam acara pernikahan, padahal mungkin saja yang punya acara kelupaan atau
memang tidak mengundang karena keterbatasan dana. Saya rasa wajar saja. Tidak
semua orang punya uang berlebih. Saya sendiri jujur saja tidak merasa keberatan
kalau tidak diundang. Selain karena saya malas memakai sepatu hak tinggi, saya
tidak terlalu suka makan sambil berdiri, belum ditambah macet keluar rumah di
hari sabtu/minggu :p
Bisa jadi hal ini juga terjadi
karena pengaruh cerita/novel/film barat yang mengkonstruksikan pernikahan layaknya
putri dan pangeran dalam dongeng. Akibatnya gadis-gadis remaja pun banyak yang
memimpikan dan merancang pernikahan seakan dia adalah Kate Middleton dan
Pangeran William. Padahal sesungguhnya, di Barat pun banyak orang yang sangat
selektif mengundang calon undangan pernikahan mereka. Dengan alasan, mereka
menganggap pernikahan adalah hal yang sangat pribadi dan mereka tidak mau acara
pernikahan mereka menjadi ajang basa-basi. Cukup hanya keluarga dan teman
terdekat saja karena mereka ingin merasa senyaman mungkin di hari bahagia
mereka.
Saya rasa kita seharusnya
mewajarkan saja apabila ada orang yang menikah dan tidak mengadakan pesta.
Cukup mengirim kue/makanan disertai pemberitahuan bahwa si X dan si Y telah
menikah pada hari XYZ. Selain tidak perlu keluar rumah, kita pun senang karena
dikirimi makanan. :p dan kalo mau menyinggung 'produk budaya' lainnya, yakni ;
membeli doa, bukankah si penerima kue juga akan lebih senang mendoakan si
pengantin tanpa harus bermacet-macet ria? Haha..
Maka itu saya seringkali
berpikir apa tujuan sebenarnya resepsi mewah dan meriah ? Untuk ajang
silahturahmi atau untuk menaikkan gengsi? Akan menjadi sangat sulit kalau
ternyata jawabannya hanya gengsi. Karena yang saya tahu, gengsi adalah hal
termahal dan paling merepotkan di dunia ini. Hehe..
Bukan saya tidak setuju dengan
resepsi besar-besaran, hanya saja untuk orang-orang yang tidak memiliki dana
berlebih tak perlu juga memaksakan resepsi megah apalagi sampai harus berhutang
kesana-kesitu-kemari. Kecuali anda menikahi Raja Minyak Dunia, haha. Seperti
pak Ustad bilang, "Tak perlu resepsi, yang penting SAH".
Yaa apa mau dikata, kadang
budaya memang lebih kuat daripada agama ya? :)
Kalo bagi saya sendiri
masalahnya bukan pestanya.. Tapi sapa calonnya? Jadi, hmmm kira-kira kapan ya? Haha.. Masih belum terjawab. Baiklah. Kembali ke.. laptop.