January 27, 2012

Permainan, Bagaimana Mengakhiri Tulisan

Oleh Putu Wijaya

Kondisi jiwa pembaca selalu tak diperhitungkan dalam tulisan-tulisan ilmiah, karena ditakutkan emosi akan ikut berbicara. Karena sasarannya adalah pembelajaran bukan permainan.
Karya fiksi, features, dan esai justru mengajak pembaca untuk bermain. Kondisi jiwa pembaca menjadi perhitungan dalam penulisan. Dengan menyampaikan pesan seperti mengajak pembaca bermain, kadang tertangkap kadang terlepas, kadang jelas-gamblang, kadang misterius penuh dengan pertanyaan-pertanyaan, proses penyampaian pesan menjadi peristiwa estafet. Tongkat bergulir dari tangan ke tangan sampai mencapai tangan yang terakhir untuk mengantarkannya ke garis finis. Pelari yang membawa tongkat itu pada etape terakhir adalah pelari yang paling jago.

Menulis pada akhirnya adalah persoalan bagaimana mengakhiri untuk menutup permainan. Sebuah tulisan yang cantik, lugas dan memukau pada akhirnya juga diadili sekali di akhir tulisan. Karena menutup tulisan, sebagaimana juga membukanya adalah peristiwa yang amat penting yang memerlukan kiat dan tenaga.
Ada akhir yang dipestakan dengan kibaran bendera kemenangan. Tetapi kemenangan penulis bisa berarti kekalahan pembaca. Dan kekalahan semacam itu tidak selamanya berarti pengakuan, penghormatan atau ketaklukan. Bisa juga berarti sebaliknya sebagai antipati. Seluruh pukau yang sudah tercipta bisa langsung mubazir bila pembaca akhirnya merasa seluruh tulisan adalah peristiwa kekalahannya.

Ada pembaca yang merasa nikmat dalam kekalahan. Ada penulis yang merasa menang kalau sudah menaklukan. Tetapi kekalahan dan kemenangan semacam itu tidak lama usianya. Kekalahan dan kemenangan yang abadi adalah kekalahan dan kemenangan yang tidak dipestakan. Bahkan disadari pun tidak. Kekalahan dan kemenangan yang abadi adalah kekalahan yang menang dan kemenangan yang kalah. Keduanya datang serentak menyatu dalam satu paket. Sesuatu yang nampaknya mustahil tetapi sudah kita lakukan setiap hari. Karena teori harmoni sudah mendarah-daging dalam kehidupan kita sebagai penghuni dunia di belahan Timur. Dia sudah merupakan jiwa dari tradisi kita. Roh tradisi penulisan kita yang tidak akan memerlukan banyak tenaga untuk mempraktikannya, karena itu sudah ada dan hidup dalam diri kita. Semua kita tinggal memupuk dan menjaga nyalanya agar terus berkobar dalam batas bermanfaat.

No comments:

Post a Comment